Suatu hari, seorang pasien datang diantar keluarganya ke puskesmas di pesisir Werinama di daratan Pulau Seram Maluku. Lemah lunglai tidak berdaya dan menahan sakit yang amat sangat. Hernia inkarserata rupanya. Hernia inkarserata adalah hernia sudah mengalami jeratan. Hanya dengan operasi sajalah jeratan ini bisa dibebaskan. Bila tidak segera dibebaskan pasien akan jatuh ke dalam keadaan sepsis dan bisa terjadi kebocoran usus (perforasi). Inilah salah satu kasus yang sangat ditakuti oleh dokter yang menjalani tugas sebagai dokter umum di daerah sangat terpencil. Kasus dimana ia tidak memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan operasi besar. Pasien harus dirujuk ke rumahsakit. Dan itu artinya untuk pasien ini harus menjalani perjalanan melintasi Laut Banda selama 12 jam. Segera dokter berlari ke arah pantai yang gemuruh ombaknya bisa terdengar dari ruang pemeriksaan. Dari gemuruhnya saja sebenarnya bisa diduga bagaimana keadaan lautan. Tapi dokter merasa harus memastikan. Naas. Pagi itu, memang sedang seru-serunya musim angin barat. Musim yang menghadirkan gelombang besar di pantai dan laut lepas. Jadi, kesimpulannya, tidak bisa merujuk pasien. Debur ombak di Pantai Werinama seolah-olah bersahut-sahutan dengan degup jantungnya. Sambil menarik nafas panjang, dia balik kanan dan kembali menangani pasiennya. Dia tahu hari itu akan menjadi salah satu hari yang paling ruwet dalam hidupnya .

Senada seperti yang dikisahkan dr. Lie Dharmawan. Saat melakukan bakti sosial di Pulau Kei Kecil dia mendapati seorang pasien berusia 9 tahun dengan hernia incarcerate juga. Ini kasus yang biasa bagi dokter bedah, termasuk bagi seorang dr. Lie Dharmawan. Yang membuat kasus ini tidak biasa adalah pasien ini kedatangannya sangat terlambat. Bagaimana tidak terlambat, dengan diantar ibunya, pasien ini harus menjalani perjalanan laut selama tiga hari dua malam untuk menjangkau pulau Kei Kecil di Maluku Tenggara. Berada dalam kondisi antara hidup dan mati, dr. Lie harus segera mempersiapkan operasi. Melalui pelayanan yang ekstra cepat, pasien ini terselamatkan. Sebuah drama dalam kehidupan nyata.

Ada banyak kasus lain dari daerah kepulauan yang membutuhkan pelayanan rujukan yang tidak tertangani karena keadaan laut yang tidak memungkinkan dilayari. Di sebuah pulau yang relatif dekat dari daratan Pulau Jawa, sepanjang tahun 2017 dilaporkan ada enam kasus rujukan kebidanan dan kandungan yang berujung pada kematian ibu. Menurut dokternya, sebenarnya kematian bisa dicegah bila pasien segera mendapat pertolongan dokter spesialis. Betapa sulit dan mahalnya untuk mendapatkan pelayanan dokter spesialis yang bisa memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna. Ini adalah permasalahan riil yang belum tuntas penanganannya.

Pulau yang terpisah jauh dari sentra pembangunan ditambah dengan minimnya sarana transportasi, informasi dan komunikasi, hanya membuat pulau ini menjadi pulau yang tertinggal. Tertinggal dalam banyak hal termasuk pembangunan kesehatan. Keterpencilan dengan segala efek turunannya hampir selalu membuat orang enggan datang ke sana apalagi tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Termasuk para dokter. Data sebaran dokter dan tenaga kesehatan terutama dokter spesialis di peta Indonesia berbicara demikian.

Minimnya infrastruktur kesehatan dan logistik di pulau-pulau terpencil, hampir selalu menjadi faktor penyulitnya. Sulitnya masyarakat mengakses rumah sakit adalah penyulit berikutnya manakala mereka dihadapkan pada masalah ini: harus dikirim ke rumahsakit rujukan. Kalau laut sedang bergelora keluarga hanya mempunyai dua pilihan, mati di darat atau mati di laut. Kalau mati di darat, hanya pasiennya saja yang meninggal. Kalau mati di laut, bisa satu keluarga yang mati. Begitulah cara mereka mengekspresikan ketidakberdayaan mereka. Silent crying orang yang terpaksa pasrah pada nasib.

Soal pembiayaan. Benar, memang pemerintah sudah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan. Hormat dan terimakasih atas komitmennya. Tapi masih ada yang terlupakan. Apa artinya memiliki Kartu Indonesia Sehat kalau mereka tidak mampu mendapatkan pelayanan? Bukan perkara yang mudah bagi mereka untuk menyiapkan biaya perjalanan dan biaya hidup selama proses pengobatan. Mereka harus menyiapkan sendiri. Sering mereka angkat tangan tidak berdaya karena masalah ini. Sebuah realitas yang sunyi yang tak kunjung ada solusi hingga saat ini.

Kehadiran kapal rumahsakit lengkap dengan kamar operasi dan dokter-dokter ahli di dalamnya seperti yang telah dilakukan oleh TNI-AL dengan KRI Dr. Soeharso, Doctorshare, Sailing Medical Service, dll. ternyata bisa memberikan dukungan yang riil dan tuntas bagi masyarakat. Riil dan tuntas di pulau mereka. Sayangnya kapal rumahsakit terapung ini jumlahnya terlalu sedikit. Jumlahnya sangat tidak memadai dibandingkan dengan sebelas ribuan pulau berpenghuni yang tersebar di lautan luas di negeri ini. Dibutuhkan lebih banyak kapal rumah sakit untuk melayani mereka semua. Dibutuhkan lebih banyak tangan yang terulur untuk menjangkau mereka yang tersebar luas. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Tidak mudah memang. Tetapi pelayanan kesehatan yang paripurna untuk rakyat di pulau-pulau terpencil harus tetap terus diperjuangkan.

Tidak bisa kita biarkan lagi sejawat dokter umum bergelut sendirian dengan kesulitan yang tidak bisa mereka atasi di pulau-pulau terpencil. Tidak bisa kita biarkan lagi ada anak yang harus menumpuh perjalanan melintasi laut berhari-hari untuk mendapatkan pelayanan dokter spesialis. Tidak bisa kita biarkan keluarga pasien kesulitan menyediakan biaya perjalanan dan biaya hidup selama pasien dirawat. Jangan kita biarkan pasien hanya bisa tinggal berharap dan berharap, semoga ada pertolongan. Sementara kita sebenarnya mampu dan berkesempatan menolong mereka. Kita harus mampu membuat mereka merasa bahwa mereka juga manusia Indonesia yang harus dicintai. Kita harus mau secara proaktif melayani mereka. Kita juga harus mampu menjamin bahwa mereka akan mendapatkan kunjungan yang teratur. Kita harus mampu memberikan kepastian pelayanan manakala mereka sakit.

Untuk itu dibutuhkan keberpihakan pada mereka antara lain dengan mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan memadai untuk mereka. Selain itu harus dibuat pengelolaan sumber daya manusia yang lebih siap dan berkomitmen tinggi untuk melayani. Ini sangat penting untuk menjamin keteraturan dan berkelanjutan program. Dukungan insentif yang cukup menarik dan realistis layak untuk dipikirkan agar mereka tetap sepenuh hati merawat nilai-nilai luhur ilmu kedokteran. Juga perencanaan yang bijaksana mengingat tidak sepanjang tahun laut bersahabat, bahkan pada musim tertentu masuk kategori berbahaya untuk dilayari. Singkat kata, kita harus membuat sistem pelayanan kesehatan yang berbasis maritim, yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan pelayanan kesehatan di pulau-pulau terpencil.
“Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan. Kita harus bekerja sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe – di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana…..” (Pidato Presiden Joko Widodo setelah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia). Sebuah janji dan tekad yang mulia yang harus didukung. Tidak ada pilihan lain. Kita harus datangi mereka di pulau mereka. Reaching out the out of reach. Menjangkau yang tidak terjangkau. Kita hadirkan pelayanan kesehatan proaktif, komprehensif dan berkelanjutan. Kita harus mampu membuktikan negara benar-benar hadir untuk mereka. Sehingga setiap orang pulau tidak lagi malu-malu pekikan, Jalesveva Jayamahe!