Tidak terasa perjalanan panjang sudah berlalu, rasa bosan dan jenuh langsung hilang seketika, saat kami menginjakkan kaki di bandara Mali, NTT. Tujuan pelayanan kami selanjutnya adalah di Pulau Alor, yang dilaksanakan pada 27-28 September 2018. Pulau Alor sendiri berbatasan dengan Laut Flores di sebelah utara, Maluku Tenggara Barat di sebelah timur, serta Selat Lomblen di sebelah selatan. Ketika sampai di Pulau Alor, kami disambut oleh Bupati Alor, Bapak Amon Djombo yang sangat berterima kasih atas kedatangan tim Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga, beliau menggarisbawahi bahwa kesehatan adalah hak setiap warga negara, meski di daerah terpencil sekalipun. Dengan semakin digerakkan kegiatan seperti ini, akan membangkitkan semangat orang-orang di luar sana untuk membantu saudara-saudara kita yang hidup dengan segala keterbatasan. Berbagai serangkaian acara sambutan sudah dilewati. Kemudian di akhiri dengan momen kami diberi masing-masing syal dari kain tenun Alor. Uniknya, proses pembuatan kain tenun Alor ini butuh sekitar tiga bulan karena dibuat dengan tangan warga lokal Alor serta menggunakan pewarna alami dari akar-akaran sampai dedaunan. Motifnya pun beraneka ragam yang cocok dipadupadankan dengan pakaian apapun. Kemudian, perjalanan kami lanjutkan dengan berkunjung ke kapal Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga, kami begadang untuk mempersiapkan bakti sosial dua hari ke depan. Mulai dari persiapan obat, penghitungan jumlah obat, sterilisasi kamar operasi, persiapan alat-alat operasi, pembagian tugas agar bakti sosial berjalan lancar.

Tibalah hari bakti sosial dimulai, tim kami yang terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, perawat, mahasiswa kedokteran bekerja sama dengan tenaga kesehatan dari rumah sakit daerah Kalabahi tampak siap memakai rompi Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga dengan tugas kami masing-masing. Ada yang bertugas di rumah sakit daerah Kalibahi dan ada yang bertugas di kapal. Kebetulan saya mendapatkan tugas screeningpasien untuk keperluan tindakan operasi. Waktu masih menunjukkan pukul setengah 8 pagi WITA, tetapi banyak warga yang sudah mengantri, sampai banyak yang menunggu dengan berdiri karena kehabisan tempat duduk. Kami dapat menyaksikan langsung antusias warga yang ternyata tidak hanya datang dari sekitar tempat kami bakti sosial, tetapi ada yang datang jauh-jauh sekitar 30 KMdari tempat bakti sosial, bahkan ada yang sampai menginap satu hari sebelumnya. Lucunya, kami menjumpai banyak warga lokal yang tidak bisa berbahasa indonesia, sehingga kami didampingi oleh perawat dari rumah sakit daerah Kalabahi untuk menerjemahkan. Di Alor, kami banyak belajar bahasa Alor dalam sehari-harinya.
Tidak terasa, kami telah melayani total 372 pasien dalam dua hari, diantaranya 64 pasien memerlukan tindakan operasi. Kami bekerja dari pagi sampai setengah 10 malam dalam dua hari. Banyak cerita yang menyentuh yang kami dengar, salah satu yang membekas di hati saya adalah ketika ada seorang bapak dan anak berobat, mereka hanya tinggal berdua, tidak mempunyai sanak saudara lain, serta mereka naik sepeda ontel dari rumah mereka yang berjarak 20 km dari tempat baksos. Beliau bercerita betapa mereka senang ketika mendengar berita dari tetangga karena ada pengobatan gratis. Jarak yang jauhpun bukan lagi jadi halangan. Beliau menceritakan sambil menangis tentang penyakit anaknya yang tidak sembuh-sembuh, yang ternyata setelah kami anamnesis lebih lanjut, penyakitnya memang tidak hanya dapat diobati dengan obat-obatan tetapi membutuhkan tindakan operasi. Dan ini untuk pertama kalinya anaknya berobat karena ketidakadaan akses kesehatan di sekitar rumah mereka. Ketika operasi selesai, senang sekali rasanya bisa melihat senyum sumringah dari mereka berdua. Bahkan mereka memeluk kami dan mengucap beribu-ribu terimakasih. Kami juga sudah berbicara dengan pihak rumah sakit untuk membantu pengobatan selanjutnya untuk keluarga kecil ini. Tidak ada kata mengeluh yang terucap dari mulut kami, karena semuanya akan sirna dengan melihat senyum pasien dan keluarga pasien. Hampir semua pasien sangat berterima kasih dan ingin sekali suatu saat tim kami kembali ke sana untuk melakukan bakti sosial. Banyak sekali pelajaran yang bisa kami ambil, diantaranya adalah dengan segala keterbatasan tenaga dan alat, selama ada kemauan untuk menolong sesama yang membutuhkan, semua pasti akan diberikan kemudahan.

Keesokan harinya kami bangun pagi sekali untuk melihat sunrisedi pantai Deere. Pantai ini masih sangat jarang dijamah oleh wisatawan. Pemandangannya, pasirnya, warna biru lautnya membuat kami betah berlama-lama dan mengabadikan momen indah di sana. Setelah itu, kami juga turut diberi kesempatan untuk mempelajari kebudayaan khas pulau Alor di desa Takpala. Perjalanan menuju ke sana tidaklah mudah, memakan waktu sekitar 45 menit dari penginapan kami dan harus melewati jalan yang menanjak di mana tidak ada pembatas di sampingnya. Menakutkan? Iya! Masih pingin lanjut? iya! Saat sampai di sana, kami disuguhi tarian Lego-Lego khas suku Abui. Kami sangat terkesima dengan tarian ini karena melihat semangat dari para penari dan gerakan lincah loncat kesana-sini tanpa ada kesan lelah di raut wajah mereka, bahkan yang menarik lagi, ada leluhurnya yang berumur 90 tahun juga ikut turut menari dengan enerjik. Ramai ucapan decak kagum dan tepuk tangan dari kami saat mereka mengakhiri pertunjukkan. Tarian ini biasanya ditampilkan saat upacara adat. Dan ternyata tarian ini mengandung makna yang dalam yaitu mengajak masyarakat untukbersatu membangun kampung dalam negeri. Yang tidak kalah menarik adalah hampir sebagian besar rumah di desa Takpala berlantaikan empat, namun hanya terbuat dari jalinan bambu. Setiap rumah tradisional ini biasa ditempati sekitar 13 kepala keluarga, itulah alasan kenapa mereka sangat peduli dengan sesama, karena mereka sering melakukan kegiatan secara bersama-sama dan memupuk rasa empati. Mumpung di sana, saya tidak mau kalah untuk ikut memakai baju adat mereka. Saya dibantu perempuan suku Abui untuk memakai balutan tenun dan, gelang kaki yang akan berbunyi gemerincing saat saya menghentakkan kaki, serta topi berbulu ayam. Tak lupa saya juga diajari keseharian mereka yaitu menenun dan membuat kerajinan tangan. Sambil belajar kebudayaan mereka, saya mendengar banyak cerita dari perempuan-perempuan hebat suku abui. Rasanya tidak akan pernah cukup waktu untuk mempelajari budaya unik mereka ini.
Tibalah waktu kami untuk kembali ke bandara Mali. Rasa sedih dan rindu mewarnai perjalan kami ke bandara. Masih banyak sekali tempat-tempat di sini yang belum kami eksplor. Kami berjanji apabila suatu saat kami diberi kesempatan untuk berkunjungan ke sana lagi, we’d be delighted!
Penulis : dr.Deisha Laksmitha Ayomi
Semangat terus tim RSTKA, saya meneteskan airmata untuk Bapak dan Anak yang harus berjuang mendapat layanan. Tuhan yang membalas semua jerih lelah tim dan relawan RSTKA.
aamiin, terima kasih